Direktur Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu-Anak (GKIA) Kementerian Kesehatan RI, dr. Anung Sugihantono, M.Kes, menyampaikan apresiasi atas keberhasilan pemerintah daerah dan jajaran kesehatan untuk menggerakan masyarakat untuk Peduli Kesehatan Ibu. Upaya-upaya yang berhasil dilakukan adalan dengan dibentuknya Forum Penurunan Kematian Ibu dan Bayi (PENAKIB), Gerakan Bersama Amankan Kehamilan (GEBRAK) dan pendampingan ibu hamil risiko tinggi. Melalui upaya tersebut, Angka Kematian Ibu (AKI) provinsi Jawa Timur berhasil diturunkan.
Di hadapan lebih kurang 500 kader PKK yang berasal dari berbagai Kabupaten/Kota di Jawa Timur, dr. Anung menyatakan bahwa kader masyarakat sangat penting dalam upaya menyelamatkan ibu hamil, melalui pendampingan satu kader mendampingi satu ibu hamil risiko tinggi. Pendampingan dilakukan sejak awal kehamilan sampai dengan 40 hari setelah melahirkan. Kegiatan pendampingan juga dintegrasikan dengan kegiatan yang ada di masyarakat seperti Posyandu, Dasawisma, Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K), serta pemberian informasi secara aktif terhadap orang tua agar mencegah pernikahan dini di kalangan remaja.
Keberhasilan inilah yang menginspirasi kami untuk melakukan hal yang sama, tentu dengan penyesuaian dan penyempurnaan, agar dapat dicontoh oleh daerah lainnya, ujar dr. Anung saat menghadiri acara dialog Senyum Keluarga Posyandu dalam rangka kampanye penurunan Angka Kematian Ibu (AKI) yang diselenggarakan di atrium City of Tomorrow, Surabaya (15/10).
Ketua Tim penggerak PKK Provinsi Jawa Timur, Hj. Nina Kirana Soekarwo menyatakan kebanggaannya terhadap para kader yang selalu ikhlas mendampingi ibu hamil berisiko tinggi setiap saat, meskipun tidak digaji.
Jawa Timur menjadi satu-satunya provinsi yang membentuk tim pendamping ibu hamil, kata Nina.
Nina menjelaskan pendampingan bagi ibu hamil resiko tinggi oleh kader yang dilakukan selama 10 bulan mulai dari kehamilan sampai depan masa nifas terbukti mampu mencegah kematian ibu melahirkan. program tersebut dimulai pada tahun 2013 lalu dengan menerjunkan 400 kader PKK untuk mendampingi 400 bumil yang tersebar di delapan kabupaten/kota di Jatim yaitu Sampang, Ngawi, Pamekasan, Trenggalek, Bondowoso, Situbondo, Jember, dan Kediri.
Saat ini, jumlah kader pendamping ibu hamil berisiko tinggi mencapai 740 orang, dengan rincian: Ngawi sebanyak 102 orang kader, Sampang 101 orang kader, Pamekasan 102 orang kader, Trenggalek 53 orang kader, Bondowoso 88 orang kader, Situbondo 76 orang kader, Jember 115 orang kader, dan di Kabupaten Kediri sebanyak 103 orang kader.
Sementara itu, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur, dr. Harsono, Angka Kematian Ibu (AKI) di provinsi Jawa Timur sudah berada di bawah target Millenium Development Goals (MDGs) 2015, sebesar 102 kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup. Secara rinci, data laporan kematian ibu Dinas Kesehatan Kabupaten dan Kota melaporkan tahun 2011 sebesar 101,4 per 100.000 kelahiran hidup; tahun 2012 sebesar 97,43 per 100.000 kelahiran hidup; dan tahun 2013 sebesar 97,39 per 100.000 kelahiran hidup.
Mengutip data hasil Survey Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012, Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia masih tinggi, yaitu 359 per 100.000 kelahiran hidup. Jika dihitung berdasarkan angka tersebut, maka ada 16.155 orang ibu yang meninggal akibat kehamilan, persalinan dan nifas pada tahun 2012. Jumlah ini setara dengan jumlah korban kecelakaan 40 pesawat Boeing 777 yang jatuh dan seluruh penumpangnya meninggal. Di samping itu, Angka Kematian Bayi (AKB) juga masih tinggi di Indonesia. Pada tahun 2012, angkanya adalah 32 per 1000 kelahiran hidup atau setara dengan 144.000 dan setara dengan penumpang 360 pesawat Boeing 777.
Namun demikian, karena jumlah penduduk Jatim sangat besar yaitu 38 juta jiwa, maka dari nilai absolut jumlah kematian ibu hamil masih tinggi, ujar dr. Harsono.
Jumlah kematian ibu di Provinsi Jawa Timur mengalami penurunan yang cukup bermakna, dari 642 kematian (tahun 2013) menjadi 291 kematian (hingga Agustus 2014). Penyebab terbanyak kematian ibu hamil adalah preeklampsia dan sebagian besar juga diakibatkan keterlambatan pengambilan keputusan keluarga untuk membawa ibu hamil berisiko tinggi ke pusat rujukan.
Ada 3 keterlambatan yang menjadi penyebab ibu hamil berisiko tidak tertolong, yaitu: keluarga terlambat mengambil keputusan, terlambat sampai di tempat rujukan, dan terlambat mendapat penanganan, tandasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar