SELAMAT HARI KESEHATAN NASIONAL KE 50


Rabu, 21 Desember 2011

Spinal Anestesi

Spinal Anestesi pertama kali ditemukan pada tahun 1885 oleh Leonard Corning, seorang ahli saraf di New York. Beliau bereksperimen dengan memasukan kokain pada saraf tulang belakang Anjing, kemudian ia melihat Anjing tersebut kehilangan rasa sakit, meskipun disayat dengan pisau.

Eksperimen awal Leonard Corning, membawa perubahan penting di bidang Kedokteran Anestesi dan sampai saat ini teknik Spinal Anestesi sangat bermamfaat di dunia kesehatan untuk menolong pasien di kamar operasi.

Spinal Anestesi itu Apa?
Spinal Anestesi adalah pembiusan dengan memasukan obat berupa suntikan jarum halus melalui tulang belakang (tulang punggung) sehingga pasien tidak mengalami rasa nyeri ketika di sayat dengan pisau, namun pasien tetap sadar dan bisa bicara dengan petugas dan mengetahui bahwa dia sedang menjalani operasi.


Apa mamfaat Spinal Anestesi bagi dunia kesehatan ?
Teknik Spinal Anestesi sangat berguna pada pasien yang tidak bisa dilakukan pembiusan umum dengan teknik Intubasi endotrakeal, seperti pasien yang mengalami gangguan saluran napas, yaitu asma bronkial, bronkitis alergi dan kelainan anatomi saluran nafas.
( Intubasi endotrakeal adalah salah satu tindakan untuk pembiusan umum)

Jadi dengan adanya teknik Spinal Anestesi, pembiusan tetap dapat dilakukan tanpa pembiusan umum pada pasien yang mengalami gangguan saluran pernafasan.

Apa Tujuan Spinal Anestesi ?
Spinal Anestesi bertujuan untuk menghilangkan rasa nyeri pada daerah pinggang atas sampai ujung jari kaki, jika diberi perlakuan atau rangsangan nyeri, pasien tidak akan merasakan sakit, sebab persyarafan sebagai pengantar rasa sakit telah diblok dengan obat bius pada daerah punggung.

Kasus apa saja yang bisa di lakukan Spinal Anestesi?
Spinal Anestesi dapat dilakukan pada tindakan Sectio Caesaria, pasien dengan Hernia, pasien yang akan di operasi dengan patah tulang kaki dan Amputasi anggota gerak bawah.

Apa saja efek negatif atau Komplikasi dari Spinal Anestesi?
Dapat secara luas diklasifikasikan sebagai berikut, yaitu Komplikasi langsung (di meja operasi), seperti terjadinya Shock Spinal, Cauda equina cedera, pendarahan, hematoma dan jarum patah saat melakukan penusukan.

Kemudian komplikasi tidak langsung (di unit perawatan pasca operasi), yaitu berlangsung dalam waktu enam jam setelah Anestesi Spinal, dimana pasien akan mengalami sakit kepala dan sakit tulang belakang.

Terakhir, Komplikasi lanjut, yaitu terjadinya Infeksi, seperti meningitis.


• KOMPLIKASI NEUROLOGIS DARI ANESTESI SPINAL
Komplikasi neurologis yang berkaitan dengan SA mencakup sakit kepala post- dural, radikulopati, nervus kranial palsy.36 Contoh yang jarang yaitu emfiema, meningitis aseptik, arachnoiditis, hematoma epidural dan mielitis telah dilaporkan.36 Pada sebuah survei observasi, komplikasi neurologis ditemukan 34 dari 40.640 anestesi spinal dengan lima kasus dengan gejala yang bertahan melewati 3 minggu dan disebut permanen.37 Pada survei skala besar lain, insiden sequelae neurologis permanen adalah 1 dari 65.000 prosedur. Studi ini dan yang lainnya mendukung pernyataan bahwa SA adalah teknik yang relatif aman.



Anestesi Spinal
Anestesi spinal (subaraknoid) adalah anestesi regional dengan tindakan penyuntikan obat anestetik lokal ke dalam ruang subaraknoid. Anestesi spinal/subaraknoid disebut juga sebagai analgesi/blok spinal intradural atau blok intratekal.
Hal-hal yang mempengaruhi anestesi spinal adalah jenis obat, dosis yang digunakan, efek vasokonstriksi, berat jenis obat, posisi tubuh, tekanan intraabdomen, lengkung tulang belakang, operasi tulang belakang, usia pasien, obesitas, kehamilan, dan penyebaran obat.
Indikasi
Anestesi spinal dapat diberikan pada tindakan yang melibatkan tungkai bawah, panggul, dan perineum. Anestesi ini juga digunakan pada keadaan khusus seperti bedah endoskopi urologi, bedah rektum, perbaikan fraktur tulang panggul, bedah obstetri, dan bedah anak. Anestesi spinal pada bayi dan anak kecil dilakukan setelah bayi ditidurkan dengan anestesi

Kontraindikasi
Kontraindikasi mutlak meliputi infeksi kulit pada tempat dilakukan pungsi lumbal, bakteremia, hipovolemia berat (syok), koagulopati, dan peningkatan tekanan intrakranial. Kontraindikasirelatif meliputi neuropati, prior spine surgery, nyeri punggung, penggunaan obat-obatan praoperasi golongan AINS (antiinflamasi nonsteroid seperti aspirin, novalgin, parasetamol), heparin subkutan dosis rendah, dan pasien yang tidak stabil, dan a resistant surgeon.
Persiapan Pasien
Pasien sebelumnya diberi informasi tentang tindakan ini (informed concent) meliputi pentingnya tindakan ini dan komplikasi yang mungkin terjadi.
Pemeriksaan fisis dilakukan meliputi daerah kulit tempat penyuntikan untuk menyingkirkan adanya kontraindikasi seperti infeksi. Perhatikan juga adanya skoliosis atau kifosis. Pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan adalah penilaian hematokrit. Masa protrombin (PT) dan masa tromboplastin parsial (PTT) dilakukan bila diduga terdapat gangguan pembekuan darah.
Kunjungan praoperasi dapat menenangkan pasien. Dapat dipertimbangkan pemberian obat premedikasi agar tindakan anestesi dan operasi lebih lancar. Namun, premedikasi tidak berguna bila diberikan pada waktu yang tidak tepat.

Perlengkapan
Tindakan anestesi spinal harus diberikan dengan persiapan perlengkapan operasi yang lengkap untuk monitor pasien, pemberian anestesi umum, dan tindakan resusitasi.
Jarum spinal dan obat anestetik spinal disiapkan. Jarum spinal memiliki permukaan yang rata dengan stilet di dalam lumennya dan ukuran 16-G sampai dengan 30-G. Obat anestetik lokal yang digunakan adalah prokain, tetrakain, lidokain, atau bupivakain. Berat jenis obat anestetik lokal mempengaruhi aliran obat dan perluasan daerah yang teranestesi. Pada anestesi spinal jika berat jenis obat lebih besar dari berat jenis cairan serebrospinal (hiperbarik), akan terjadi perpindahan obat ke dasar akibat gaya gravitasi. Jika lebih kecil (hipobarik), obat akan berpindah dari area penyuntikan ke atas. Bila sama (isobarik), obat akan berada di tingkat yang sama di tempat penyuntikan. Pada suhu 37°C cairan serebrospinal memiliki beratjenis 1,003-1,008.
Perlengkapan lain berupa kain kasa steril, povidon iodine, alkohol, dan duk.
Jarum Spinal
Dikenal 2 macam jarum spinal, yaitu jenis yang ujungnya runcing seperti ujung bambu runcing (jenis Quinke-Babcock atau Greene) dan jenis yang ujungnya seperti ujung pensil (Whitacre). Ujung pensil banyak digunakan karena jarang menyebabkan nyeri kepala pascapenyuntikan spinal.
Teknik
1. Posisi pasien duduk atau dekubitus lateral. Posisi duduk merupakan posisi termudah untuk tindakan punksi lumbal. Pasien duduk di tepi meja operasi dengan kaki pada kursi, bersandar ke depan dengan tangan menyilang di depan. Pada posisi dekubitus lateral pasien tidur berbaring dengan salah satu sisi tubuh berada di meja operasi. Panggul dan lutut difleksikan maksimal. Dada dan leher didekatkan ke arah lutut.
2. Posisi penusukan jarum spinal ditentukan kembali, yaitu di daerah antara vertebra lumbalis (interlumbal).
3. Lakukan tindakan asepsis dan antisepsis kulit daerah punggung pasien.
4. Lakukan penyuntikan jarum spinal di tempat penusukan pada bidang medial dengan sudut 10-30° terhadap bidang horizontal ke arah kranial. Jarum lumbal akan menembus ligamentum supraspinosum, ligamentum interspinosum, ligamentum flavum, lapisan duramater dan lapisan subaraknoid.
5. Cabut stilet lalu cairan serebrospinal akan menetes keluar.
6. Suntikkan obat anestetik lokal yang telah dipersiapkan ke dalam ruang subaraknoid. Kadang-kadang untuk memperlama kerja obat ditambahkan vasokonstriktor seperti adrenalin.

Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi adalah nyeri saat penyuntikan, nyeri punggung, sakit kepala, retensio urin, meningitis, cedera pumbuluh darah dan saraf, serta anestesi spinal total.



Friday, November 7, 2008


ANESTESI SPINAL PADA SEKSIO CESARIA
ANESTESI SPINAL PADA SEKSIO CESARIA
PENDAHULUAN
Tahun 1973 di Inggris terdapat 50 kematian ibu. Kebanyakan kematian ibu ini sehubungan dengan anestesi umum, 50% diantaranya karena aspirasi isi lambung. Tahun 1980 di Inggris terdapat 29 kematian ibu dengan anestesi umum, 16 orang di antaranya disebabkan aspirasi isi lambung, sedangkan yang 11 orang mengalami cardiac arrest karena kesukaran intubasi. Dengan anestesi regional ibu masih dalam keadaan sadar, refleks protektif masih ada, sehingga kemungkinan terjadinya aspirasi isi lambung kecil sekali. Ibu tidak menerima banyak macam obat dan perdarahannya lebih sedikit. Dari segi janin, anestesi regional ini bebas daripada obat-obat yang mempunyai efek depresi terhadap janin.
Tahun 1970, menurut American College of Obstetric and Gynecologists untuk Sectio caesarea elektif 50% digunakan anestesi spinal. Sampai tahun 1975 di klinik-klinik swasta masih banyak digunakan anestesi spinal dibandingkan dengan anal gesi epidural. Di dalam tulisan ini kami melakukan anestesi spinal pada penderita-penderita yang akan dioperasi sectio caesarea dengan pemikiran bahwa :
Analgesi epidural lebih banyak membutuhkan waktu dan ketrampilan, juga adanya stimulasi alat-alat dalam yang menimbulkan perasaan tidak enak pada waktu manipulasi (terutama manipulasi segmen bawah uterus) serta adanya kegagalan-kegagalan walaupun dilakukan oleh seorang ahli (1,4% Bromage 1954; 6% Bonica 1957).
Sedangkan anestesi spinal lebih mudah dilakukan, onset lebih cepat, blokade sarafnya meyakinkan, kemungkinan toksisitas tidak ada karena dosis yang rendah, dan karena adanya blokade saraf sakral yang sempurna, perasaan tidak enak seperti pada anestesi epidural tidak ada.
Teknik apapun yang dipakai, agar keadaan ibu dan anak tetap baik. Usahakan :
mempertahankan kestabilan sistim kardiovaskular
 oksigenisasi yang cukup
mempertahankan perfusi placenta yang cukup.
 Pemberian cairan pre-operatif, pencegahan aortacaval
 compression (tilting, uterine displacement), oksigenisasi dan
 pemberian efedrin merupakan hal-hal yang penting sekali dilakukan.
ANESTESI SPINAL (SUB ARACHNOID NERVE BLOCK)
Anestesi spinal merupakan teknik anestesi regional yang baik untuk tindakan-tindakan bedah, obstetrik, operasi operasi bagian bawah abdomen dan ekstremitas bawah. Teknik ini baik sekali bagi penderita-penderita yang mempunyai kelainan paru-paru, diabetes mellitus, penyakit hati yang difus dan kegagalan fungsi ginjal, sehubungan dengan gangguan metabolisme dan ekskresi dari obat-obatan.
Bagian motoris dan proprioseptis paling tahan terhadap blokade ini dan yang paling dulu berfungsi kembali. Sedangkan saraf otonom paling mudah terblokir dan paling belakang berfungsi kembali. Tingginya blokade saraf untuk otonom dua dermatome lebih tinggi daripada sensoris, sedangkan untuk motoris dua-tiga segemen lebih bawah. Secara anatomis dipilih segemen L2 ke bawah pada penusukan oleh karena ujung bawah daripada medula spinalis setinggi L2 dan ruang interegmental lumbal ini relatif lebih lebar dan lebih datar dibandingkan dengan segmen-segmen lainnya.
Lokasi interspace ini dicari dengan menghubungkan crista iliaca kiri dan kanan. Maka titik pertemuan dengan segmen lumbal merupakan processus spinosus L4 atau L4 - 5
interspace. Ligamenta yang dilalui pada waktu penusukan yaitu :
• Ligamentum supraspinosus
•Ligamentum interspinosus
•Ligamentum flavum
Pada orang tua biasanya terjadi kalsifikasi legamentum teratas, sehingga menyulitkan penusukan. Untuk mengatasi hal ini, kita sarankan penusukan paramedian, dimana jarum hanya melalui otot dan fascia kemudian ligamentum flavum. line approach yaitu apabila kita menusukkan jarum tepat digaris yang menghubungkan processus spinosus satu dengan yang lainnya, pada sudut 800 dengan punggung. Sedangkan paramedian approach penusukan 1 jari lateral dari garis jarum diarahkan ke titik tengah pada garis median dengan sudut sama dengan midline approach.
Pada penusukan mungkin yang keluar bukan liquor tapi darah, sebab di bagian anterior maupun posterior medula spinalis terdapat sistim arteri dan vena. Apabila setelah 1 menit liquor yang keluar masih belum jernih sebaiknya jarum dipindahkan ke segmen yang lain. Bila liquor tidak jernih, sebaiknya anestesi spinal ini ditunda dan dilakukan analisa dari liquor. Adapun jarum yang dipakai paling besar ukuran 22, kalau mungkin pakai jarum 23 atau 25. Makin kecil jarum yang kita pakai, makin kecil kemungkinan terjadinya sakit kepala sesudah anestesi (post spinal headache).
Obat spinal anestesi yang paling menonjol adalah tetrakain dan dibukain, yang mempunyai efek kuat dan kerjanya lebih lama. Di bagian Anestesi Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin yang ada hanya xilokain 5% hiperbarik, buatan Astra dengan B.D. 1,030 - 1,035. Onsetnya cepat, kurang dari 4 menit dengan lama kerjanya antara 60 - 90 menit. Dosis untuk wanita hamil 25% - 30% lebih rendah dari wanita yang tidak hamil. Rata-rata dipakai 1,25 - 1,50 cc. Tingginya lebel anestesi tergantung dari :
• Posisi penderita waktu penyuntikkan dan sesudahnya.
• Tingginya segemen yang dipilih pada penusukkan, makin ke arah kranial makin tinggi.
• Volume dari obat yang disuntikkan, makin banyak makin tinggi.
• Kekuatan dan kecepatan penyuntikkan.
Hal-hal tersebut diatas dapat kita atur, tetapi ada faktor lain di luar kemampuan kita, yaitu keinginan mengejan waktu persalinan. Apabila pada saat dimasukkan obat anestesi atau
pun segera setelah obat masuk liquor, wanita mengejan, maka tinggi level anestesi akan bertambah yang kadang-kadang sangat jauh sampai th. 4, sehingga penderita akan mengalami hipotensi yang hebat dan kesukaran bernafas, bahkan sampai menimbulkan sianosis.
Pemberian Oksigen
Pada akhir kehamilan akan terjadi kenaikan alveolar ventilation sampai 70%, untuk mengimbangi kenaikan konsumsi oksigen sekitar 20% atau lebih. Hal ini mengakibatkan turunnya pCO2 sampai 30 - 32 mmHg. Pada persalinan hiperventilasi terjadi lebih hebat lagi, disebabkan rasa sakit dan konsumsi oksigen dapat naik sampai 100%. Oleh karena itu apabila terjadi hipoventilasi baik oleh obat-obat narkotika, anestesi umum maupun lokal, maka akan mudah terjadi hipoksemia yang berat. Faktor-faktor yang menyebabkan hal ini, yaitu :
• Turunnya FRC sehingga kemampuan paru-paru untuk menyimpan O2menurun.
• Naiknya konsumsi oksigen
•Airway closure
• Turunnya cardiac output pada posisi supine.
Maka mutlak pemberian oksigen sebelum induksi, dan selama operasi.
Letak Penderita
Kompresi dari pembuluh-pembuluh darah besar di pinggiran pelvis merupakan hal yang berbahaya bagi ibu dan anak. Kompresi aortokaval ini terutama terjadi apabila penderita dalam keadaan supine terlentang. Karena perfusi plasenta sangat tergantung pada tensi, maka penurunan cardiac output yang berakibat penurunan tensi akan mengakibatkan penurunan perfusi plasenta yang menyebabkan terjadinya depresi fetal. Apalagi kalau seandainya penderita mendapat blokade simpatis oleh regional anestesi, maka tonus vena di ekstremitas bawah makin berkurang, venous return akan lebih kurang lagi berarti cardiac output juga akan rendah sekali, sehingga terjadi hipotensi yang berat dan perfusi plasenta akan lebih buruk lagi.
Begitu posisi diubah menjadi letak miring, kompresi pada vena cava inferior berkurang, venous return kembali normal, maka cardiac output dan tensipun akan baik kembali. Jadi, semua penderita yang akan di sectio caesarea dengan anestesi spinal harus diletakkan miring ke kiri dengan jalan memberi bantal pada bokong penderita. Teknik Anestesi Spinal :
o Infus Dextrosa/NaCl/Ringer laktat sebanyak 500 - 1500 ml.
o Oksigen diberikan dengan masker 6 - 8 L/mt.
o Posisi lateral merupakan posisi yang paling enak bagi penderita.
o Kepala memakai bantal dengan dagu menempel ke dada, kedua tangan memegang kaki yang ditekuk sedemikian rupa sehingga lutut dekat ke perut penderita.
o L3 – 4 interspace ditandai, biasanya agak susah oleh karena adanya edema jaringan.
o Skin preparation dengan betadin seluas mungkin.
o Sebelum penusukan betadin yang ada dibersihkan dahulu.
o Jarum 22 - 23 dapat disuntikkan langsung tanpa lokal infiltrasi dahulu, juga tanpa introducer dengan bevel menghadap ke atas.
o Kalau liquor sudah ke luar lancar dan jernih, disuntikan xylocain 5% sebanyak 1,25 - 1,5 cc.
o Penderita diletakan terlentang, dengan bokong kanan diberi bantal sehingga perut penderita agak miring ke kiri, tanpa posisi Trendelenburg.
o Untuk skin preparation, apabila penderita sudah operasi boleh mulai.
o Tensi penderita diukur tiap 2 - 3 menit selama 15 menit pertama, selanjutnya tiap 15 menit
o Apabila tensi turun dibawah 100 mmHg atau turun lebih dari 20 mmHg dibanding semula, efedrin diberikan 10 – 15 mgl.V.
o Setelah bayi lahir biasanya kontraksi uterus sangat baik, sehingga tidak perlu diberikan metergin IV oleh karena sering menimbulkan mual dan muntah-muntah yang mengganggu operator. Syntocinon dapat diberikan per drip.
o Setelah penderita melihat bayinya yang akan dibawa keruangan, dapat diberikan sedatif atau hipnotika.


KEPUSTAKAAN

Aboulesh EA. Pain control in obstetries, JB Lippincott Comp. Philladelphia-Toronto: 1977; 305-341.
Shnider SM, Levinson G. Anesthesia for cesarean section. In Shnider SM, Levinson G, Eds Anesthesia for obstetric, Baltimore: The William & Wilkin Comp 1979; 254 - 275.
Bonica JJ. Obstetric analgesia and anesthesia, World Federation of Societies of Anaesthesiologist, Amsterdam: 1980; 162 - 173.
Hodgkinson R, Bhatt M, Kim SS, Grewel G, Marx GH. Neonatal neurobehavioral test following cesarean section under general and spinal anesthesia. Am J Obstet Gynecol 1978; 132 - 670.
Holmes HI, Jouppila R, Koivesto M, Maata L, Pihlajaniemi R, Puuka M, Rantakyila P. Neurologic aktivity of infants following anesthesia for cesarean section. Anesthesiology 1978; 48 : 350.
Levinson G, Shnider SM. Vasopressor in obstetrics. Clin Anesth 1973; 10 : 78.
Ueland K, Gills R, Hansen JM. Maternal cardiovascular dynamics. Am J Obstet Gynecol. 1968; 100: 42.
Weaver JB, Pearson JF, Rosen M. Posture and epidural block inpregnant woman at term. Anaesth. 1975; 30 : 752.
Datta S. Analgesia for cesarean section. In : 32 nd Annual refresher course lectures 1981; 218A.
Datta S, Alper MH, Ostheimer GW, Weiss JB. Method of ephedrine administration and nausea and hypotension during spinal anesthesia for cesarean section. Anesthesiology 1982; 56 : 68.
Datta S, Brown WU. Acid-base status in diabetic mothers and their infantsfollowing general or spinal anesthesia for cesarean section. Anesthesiology 1977; 47 : 272.
Datta S, Kitzmiller Jl, Naulty JS, Ostheimer GW, Weiss JB. Acid base status of diabetic mothers and their infants following spinal anesthesia for cesarean section. Anesth Analg 1982; 61 : 662.
Ralston DH, Shnider SM. The fetal and neonatal effects of regional anesthesia in obstetrics. Anesthesiology 1978; 48, 34.
Giasi RM, D'Agostino E, Covino BG. Absorption of lidocaine following subarachnoid and epidural administration. Anesth Anal 1979;58 : 360.
Bonnardat JP, Mallet M, Calau JC, Millot F, Deligue. Maternal and fetal concentration of morphine after intrathecal administration during labour. Br J Anaesth 1982; 54 : 487.
Corke BC, Datta S, Ostheimer GW, Weiss JB, Alper MH. Spinal anaesthesia for caesarion section. Anaesth. 1982; 37 : 658.
Datta S, Alper MH, Ostheimer GW, Brown WU, Weiss JB. Effect of maternal position on epidural anesthesia for cesarion section, acid-base status, and bupicaine consentrations at delivery. Anesthesiology 1979;50 : 205.
Moya F, Smith B. Clinical anesthesia for cesarean section; clinical and biochemical studies of effect on maternal physiology. JAMA 1962; 179 : 609.
Wollmann SB, Marx GF. Acute hydration for preventing of hypotension of spinal analgesia in parturients. Anesthesiology, 1968; 29 : 374.
Mendiola J, Grylock LI, Scanlon JW. Effect of intrapartum maternal glucose infusion on the normal fetus and new born. Anesth Analg 1982; 61 : 32.
Mathru M, Rao TLK, Kartha RK, Shanmaghan M. Jacobs HK. Intravenous albumin administraion for prevention of spinal hypotension during cesarean section. Anesth Analg 1980; 59 : 655.
Kenepp NB, Shelley WC, Kumar S. Dextrose hydration in cesarean section patients. Anesthesiology 1980; 53 : S304.
Bulky RJ, Downing JW, Brock-Utne JG, Cuerden C. Right versus left lateral tilt for cesarian section. Br J Anaesth 1977; 49 : 1009.
Clark RB, Thomson DS, Thomson CH. Prevention of spinal hypotension associated with cesarion section. Anesthesiology 1976;45 : 670.
Guthe K, Gill RE, Hensen JM. Prophylactic ephedrine preceding spinal anesthesia for cesarean section. Anesthesiology 1976; 45: 462.
Shnider SM. Uterine blood flow. In : 32nd Annual refresher course lectures. 1981; 107.
Ralston DH, Shnider SM. Effect on equipotent ephedrine, metaraminol, mephentermine and metho xamme on uterine blood flowin pregnant ewe. Anesthesiology 1974; 40 : 354.
Wright RG, Robin SH, Shnider SM, Levinson G. Maternal adini nistration of ephedrine increases fetal hearth rate and variability. In : American Society of Anesthesiologist. Annual meeting 1977; S131.
Cassady GN, Moore DC Bridenbaugh LD. Post partum hypertension after the use vascontrictor and oxytoxic drugs, JAMA 1960; 172: 1011.
Sprague DH. Effects of position and uterine displa cement on spinal anesthesia for cesarean section. Anesthesiology 1976; 44 : 164.
Johnson GN, palahnink RJ, Tweed WA, Jones MV, Wade JG. Regional cerebral blood flow changes during servere fetal asphyxia by slow partial umbilical cord compression Am J Obs Gynecol 1979; 135 : 48.
Jouppilla R, Jouppilla P, Kulkka J, Hollmen A. Placental blood flow during caesarean section under lumbar extradural analgesia. Br J Anaesth 1978; 50 : 275.








dr. Afifi Ruchili
Bagian Anestesiologi Fakultas Kedokteran Universitas Pajajaran/RS Dr. Hasan Sadikin, Bandung
Anestesi Spinal pada Seksio Cesaria
PENDAHULUAN
Tahun 1973 di Inggris terdapat 50 kematian ibu. Kebanyak-
an kematian ibu ini sehubungan dengan anestesi umum, 50%
diantaranya karena aspirasi isi lambung.
Tabun 1980 di Inggris terdapat 29 kematian ibu dengan
anestesi umum, 16 orang di antaranya disebabkan aspirasi isi
lambung, sedangkan yang 11 orang mengalami cardiac arrest
karena kesukaran intubasi. Dengan anestesi regional ibu masih
dalam keadaan sadar, refleks protektif masih ada, sehingga ke-
mungkinan terjadinya aspirasi isi lambung kecil sekali. Ibu ti-
dak menerima banyak macam obat dan perdarahannya lebih
sedikit. Dari segi janin, anestesi regional ini bebas daripada
obat-obat yang mempunyai efek depresi terhadap janin.
Tahun 1970, menurut American College of Obstetric and
Gynecologists untuk Sectio caesarea elektif 50% digunakan anes-
tesi spinal. Sampai tahun 1975 di klinik-klinik swasta masih
banyak digunakan anestesi spinal dibandingkan dengan anal-
gesi epidural.
Di dalam tulisan ini kami melakukan anestesi spinal pada
penderita-penderita yang akan dioperasi sectio caesarea dengan
pemikiran bahwa :
-- Analgesi epidural lebih banyak membutuhkan waktu dan
ketrampilan, juga adanya stimulasi alat-alat dalam yang
menimbulkan perasaan tidak enak pada waktu manipula-
si (terutama manipulasi segmen bawah uterus) serta adanya
kegagalan-kegagalan walaupun dilakukan oleh seorang ahli
(1,4% Bromage 1954; 6% Bonica 1957).
-- Sedangkan anestesi spinal lebih mudah dilakukan, onset le-
bih cepat, blokade sarafnya meyakinkan, kemungkinan
toksisitas tidak ada karena dosis yang rendah, dan karena
adanya blokade saraf sakral yang sempurna, perasaan tidak
enak seperti pada anestesi epidural tidak ada.
Teknik apapun yang dipakai, agar keadaan ibu dan anak
tetap baik. Usahakan :
-- mempertahankan kestabilan sistim kardiovaskuler
-- oksigenisasi yang cukup
-- mempertahankan perfusi placenta yang cukup.
Pemberian cairan pre-operatif, pencegahan aortacaval
compression (tilting, uterine displacement), oksigenisasi dan
pemberian efedrin merupakan hal-hal yang penting sekali
dilakukan.
ANESTESI SPINAL (SUB ARACHNOID NERVE BLOCK)
Anestesi spinal merupakan teknik anestesi regional yang
baik untuk tindakan-tindakan bedah, obstetrik, operasi ope-
rasi bagian bawah abdomen dan ekstremitas bawah. Teknik
ini baik sekali bagi penderita-penderita yang mempunyai ke-
lainan paru-paru, diabetes mellitus, penyakit hati yang difus
dan kegagalan fungsi ginjal, sehubungan dengan gangguan me-
tabolisme dan ekskresi dari obat-obatan.
Bagian motoris dan proprioseptis paling tahan terhadap
blokade ini dan yang paling dulu berfungsi kembali. Sedangkan
saraf otonom paling mudah terblokir dan paling belakang ber-
fungsi kembali. Tingginya blokade saraf untuk otonom dua
dermatome lebih tinggi daripada sensoris, sedangkan untuk
motoris dua-tiga segemen lebih bawah. Secara anatomis dipi-
lih segemen L2 ke bawah pada penusukan oleh karena ujung
bawah daripada medula spinalis setinggi L2 dan ruang intereg-
mental lumbal ini relatif lebih lebar dan lebih datar dibanding-
kan dengan segmen-segmen lainnya.
Lokasi interspace ini dicari dengan menghubungkan crista
iliaca kiri dan kanan. Maka titik pertemuan dengan segmen
lumbal merupakan processus spinosus L4 atau L4--5
interspa-
ce.
Ligamenta yang dilalui pada waktu penusukan yaitu :
-- Ligamentum supraspinosus
-- Ligamentum interspinosus
-- Ligamentum flavum
Pada orang tua biasanya terjadi kalsifikasi legamentum ter-
atas, sehingga menyulitkan penusukan. Untuk mengatasi hal
ini, kita sarankan penusukan paramedian, dimana jarum hanya
melalui otot dan fascia kemudian ligamentum flavum.
Mid-
Ce rmin Dunia Kedokteran No. 33, 1984 15
line approach yaitu apabila kita menusukkan jarum tepat di
garis yang menghubungkan processus spinosus satu dengan
yang lainnya, pada sudut 80
0
dengan punggung. Sedangkan
paramedian
approach penusukan 1 jari lateral dari garis
jarum diarahkan ke titik tengah pada garis median dengan
sudut sama dengan
midline
approach.
Pada penusukan mungkin yang keluar bukan liquor tapi
darah, sebab di bagian anterior maupun posterior medulla
spinalis terdapat sistim arteri dan vena. Apabila setelah 1 me-
nit liquor yang keluar masih belum jernih sebaiknya jarum di-
pindahkan ke segmen yang lain. Bila liquor tidak jernih, se-
baiknya anestesi spinal ini ditunda dan dilakukan analisa dari
liquor. Adapun jarum yang dipakai paling besar ukuran 22,
kalau mungkin pakai jarum 23 atau 25. Makin kecil jarum
yang kita pakai, makin kecil kemungkinan terjadinya sakit
kepala sesudah anestesi (post spinal headache). Obat spinal
anestesi yang paling menonjol adalah tetrakain dan dibukain,
yang mempunyai efek kuat dan kerjanya lebih lama.
Di bagian Anestesi Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin yang
ada hanya xilokain 5% hiperbarik, buatan Astra dengan B.D.
1,030 - 1,035. Onsetnya cepat, kurang dari 4 menit dengan
lama kerjanya antara 60 - 90 menit. Dosis untuk wanita ha-
mil 25% - 30% lebih rendah dari wanita yang tidak hamil.
Rata-rata dipakai 1,25 - 1,50 cc.
Tingginya lebel anestesi tergantung dari :
--Posisi penderita waktu penyuntikkan dan sesudahnya.
--Tingginya segemen yang dipilih pada penusukkan, makin
ke arah kranial makin tinggi.
--Volume dari obat yang disuntikkan, makin banyak makin
tinggi.
-- Kekuatan dan kecepatan penyuntikkan.
Hal-hal tersebut diatas dapat kita atur, tetapi ada faktor la-
in di luar kemampuan kita, yaitu keinginan mengejan waktu
persalinan. Apabila pada saat dimasukkan obat anestesi atau-
pun segera setelah obat masuk liquor, wanita mengejan, ma-
ka tinggi level anestesi akan bertambah yang kadang-kadang
sangat jauh sampai th. 4, sehingga penderita akan mengalami
hipotensi yang hebat dan kesukaran bernafas, bahkan sampai
menimbulkan sianosis.
Pemberian Oksigen
Pada akhir kehamilan akan terjadi kenaikan alveolar venti-
lation sampai 70%, untuk mengimbangi kenaikan konsumsi
oksigen sekitar 20% atau lebih. Hal ini mengakibatkan turun-
nya pCO
2
sampai 30 - 32 mmHg. Pada persalinan hiperventi-
lasi terjadi lebih hebat lagi, disebabkan rasa sakit dan konsum-
si oksigen dapat naik sampai 100%. Oleh karena itu apabila
terjadi hipoventilasi baik oleh obat-obat narkotika, anestesi
umum maupun lokal, maka akan mudah terjadi hipoksemia
yang berat. Faktor-faktor yang menyebabkan hal ini, yaitu :
-- turunnya FRC sehingga kemampuan paru-paru untuk me-
. Bahkan ada 2
menurun.
--naiknya konsumsi oksigen
airway closure
--turunnya cardiac output pada posisi supine.
Maka mutlak pemberian oksigen sebelum induksi, dan selama
operasi.
16 Cermin Dunia Kedokteran No. 33, 1984
Letak Penderita
Kompresi dari pembuluh-pembuluh darah besar di pinggir-
an pelvis merupakan hal yang berbahaya bagi ibu dan anak.
Kompresi aortokaval ini terutama terjadi apabila penderita
dalam keadaan supine terlentang.
Karena perfusi plasenta sangat tergantung pada tensi, ma-
ka penurunan cardiac output yang berakibat penurunan ten-
si akan mengakibatkan penurunan perfusi plasenta yang me-
nyebabkan terjadinya depresi fetal. Apalagi kalau seandai-
nya penderita mendapat blokade simpatis oleh regional aneste-
si, maka tonus vena di ekstremitas bawah makin berkurang,
venous return akan lebih kurang lagi berarti cardiac output
juga akan rendah sekali, sehingga terjadi hipotensi yang berat
dan perfusi plasenta akan lebih buruk lagi.
Begitu posisi diubah menjadi letak miring, kompresi pada
vena cava inferior berkurang, venous return kembali normal,
maka cardiac output dan tensipun akan baik kembali. Jadi,
semua penderita yang akan di sectio caesarea dengan aneste-
si spinal harus diletakkan miring ke kiri dengan jalan memberi
bantal pada bokong penderita.
Teknik Anestesi Spinal :
-- Infus Dextrosa/NaCl/Ringer laktat sebanyak 500 - 1500 ml.
-- Oksigen diberikan dengan masker 6 - 8 L/mt.
-- Posisi lateral merupakan posisi yang paling enak bagi pen-
derita.
-- Kepala memakai bantal dengan dagu menempel ke dada,
kedua tangan memegang kaki yang ditekuk sedemikian ru-
pa sehingga lutut dekat ke perut penderita.
-- L3 - 4
interspace
ditandai, biasanya agak susah oleh karena
adanya edema jaringan.
Skin preparation dengan betadin seluas mungkin.
-- Sebelum penusukan betadin yang ada dibersihkan dahulu.
-- Jarum 22 - 23 dapat disuntikkan langsung tanpa lokal in-
filtrasi dahulu, juga tanpa introducer dengan bevel mengha-
dap ke atas.
-- Kalau liquor sudah ke luar lancar dan jernih, disuntikan xy-
locain 5% sebanyak 1,25 - 1,5 cc.
-- Penderita diletakan terlentang, dengan bokong kanan di-
beri bantal sehingga perut penderita agak miring ke kiri,
tanpa posisi Trendelenburg.
-- Untuk skin preparation, apabila penderita sudah operasi
boleh mulai.
-- Tensi penderita diukur tiap 2 - 3 menit selama 15 menit
pertama, selanjutnya tiap 15 menit.
-- Apabila tensi turun dibawah 100 mmHg atau turun lebih
dari 20 mmHg dibanding semula, efedrin diberikan 10 - 15
mgl.V.
--Setelah bayi lahir biasanya kontraksi uterus sangat baik,
sehingga tidak perlu diberikan metergin IV oleh karena se-
ring menimbulkan mual dan muntah-muntah yang meng-
ganggu operator. Syntocinon dapat diberikan per drip.
--Setelah penderita melihat bayinya yang akan dibawa ke
ruangan, dapat diberikan sedatif atau hipnotika.
Hasilnya
-- Cukup memuaskan penderita yang tadinya ge-
nyimpan 0



Cermin Dunia Kedokteran No. 33. 1984 1 7
Dec2009 Posted by dokterkwok in Dec 1,2009 Anaesthesia
Anestesi spinal(anestesi lumbal,blok sub arachnoid) dihasilkan bila kita menyuntikkan obat analgesic local ke dalam ruang sub arachnoid di daerah antara vertebra L2-L3 atau L3-L4 atau L4-L5
Indikasi:
1. Bedah ekstremitas bawah
2. Bedah panggul
3. Tindakan sekitar rektum perineum
4. Bedah obstetric-ginekologi
5. Bedah urologi.
6. Bedah abdomen bawah
7. Pada bedah abdomen atas dan bawah pediatric biasanya dikombinasikan dengan anesthesia umum ringan
Kontra indikasi absolute:
1. Pasien menolak
2. Infeksi pada tempat suntikan
3. Hipovolemia berat, syok
4. Koagulapatia atau mendapat terapi koagulan
5. Tekanan intracranial meningkat
6. Fasilitas resusitasi minim
7. Kurang pengalaman tanpa didampingi konsulen anestesi.
Kontra indikasi relative:
1. Infeksi sistemik
2. Infeksi sekitar tempat suntikan
3. Kelainan neurologis
4. Kelainan psikis
5. Bedah lama
6. Penyakit jantung
7. Hipovolemia ringan
8. Nyeri punggung kronik
Persiapan analgesia spinal
Pada dasarnya persiapan untuk analgesia spinal seperti persiapan pada anastesia umum. Daerah sekitar tempat tusukan diteliti apakah akan menimbulkan kesulitan,misalnya ada kelainan anatomis tulang punggung atau pasien gemuk sekali sehingga tak teraba tonjolan prosesus spinosus. Selain itu perlu diperhatikan hal-hal di bawah ini:
1. Informed consent
Kita tidak boleh memaksa pasien untuk menyetujui anesthesia spinal
2. Pemeriksaan fisik
Tidak dijumpai kelainan spesifik seperti kelainan tulang punggung
3. Pemeriksaan laboratorium anjuran
Hb, ht,pt,ptt
Peralatan analgesia spinal
1. Peralatan monitor: tekanan darah,pulse oximetri,ekg
2. Peralatan resusitasi
3. Jarum spinal
Jarum spinal dengan ujung tajam(ujung bamboo runcing, quinckebacock) atau jarum spinal dengan ujung pinsil(pencil point whitecare)
Teknik analgesia spinal
Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada garis tengah ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan di atas meja operasi tanpa dipindah lagi dan hanya diperlukan sedikit perubahan posisi pasien. Perubahan posisi berlebihan dalam 30 menit pertama akan menyebabkan menyebarnya obat.
1. Setelah dimonitor,tidurkan pasien misalkan dalam posisi lateral dekubitus. Beri bantal kepala,selain enak untuk pasienjuga supaya tulang belakang stabil. Buat pasien membungkuk maximal agar processus spinosus mudah teraba. Posisi lain adalah duduk.
2. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua garis Krista iliaka,missal L2-L3, L3-L4, L4-L5. Tusukan pada L1-L2 atau diatasnya berisiko trauma terhadap medulla spinalis.
3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadine atau alcohol.
4. Beri anastesi local pada tempat tusukan,misalnya dengan lidokain 1-2% 2-3ml
5. Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22G,23G,25G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27G atau 29G dianjurkan menggunakan penuntun jarum yaitu jarum suntik biasa semprit 10cc. tusukkan introduser sedalam kira-kira 2cm agak sedikit kearah sefal,kemudian masukkan jarum spinal berikut mandrinnya ke lubang jarum tersebut. Jika menggunakan jarum tajam (Quincke-Babcock) irisan jarum (bevel) harus sejajar dengan serat duramater, yaitu pada posisi tidur miring bevel mengarah keatas atau kebawah, untuk menghindari kebocoran likuor yang dapat berakibat timbulnya nyeri kepala pasca spinal. Setelah resensi menghilang, mandarin jarum spinal dicabut dan keluar likuor, pasang semprit berisi obat dan obar dapat dimasukkan pelan-pelan (0,5ml/detik) diselingi aspirasi sedikit, hanya untuk meyakinkan posisi jarum tetap baik. Kalau anda yakin ujung jarum spinal pada posisi yang benar dan likuor tidak keluar, putar arah jarum 90ยบ biasanya likuor keluar. Untuk analgesia spinal kontinyu dapat dimasukan kateter..
6. Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah perineal misalnya bedah hemoroid (wasir) dengan anestetik hiperbarik. Jarak kulit-ligamentum flavum dewasa ± 6cm.
Tinggi blok analgesia spinal
Factor yang mempengaruhi:
- Volume obat analgetik local: makin besar makin tinggi daerah analgesia
- Konsentrasi obat: makin pekat makin tinggi batas daerah analgesia
- Barbotase: penyuntikan dan aspirasi berulang-ulang meninggikan batas daerah analgetik.
- Kecepatan: penyuntikan yang cepat menghasilkan batas analgesia yang tinggi. Kecepatan penyuntikan yang dianjurkan: 3 detik untuk 1 ml larutan.
- Maneuver valsava: mengejan meninggikan tekanan liquor serebrospinal dengan akibat batas analgesia bertambah tinggi.
- Tempat pungsi: pengaruhnya besar pada L4-5 obat hiperbarik cenderung berkumpul ke kaudal(saddle blok) pungsi L2-3 atau L3-4 obat cenderung menyebar ke cranial.
- Berat jenis larutan: hiper,iso atau hipo barik
- Tekanan abdominal yang meningkat: dengan dosis yang sama didapat batas analgesia yang lebih tinggi.
- Tinggi pasien: makin tinggi makin panjang kolumna vertebralis makin besar dosis yang diperlukan.(BB tidak berpengaruh terhadap dosis obat)
- Waktu: setelah 15 menit dari saat penyuntikan,umumnya larutan analgetik sudah menetap sehingga batas analgesia tidak dapat lagi diubah dengan posisi pasien.
Komplikasi anestesia spinal
Komplikasi analgesia spinal dibagi menjadi komplikasi dini dan komplikasi delayed. Komplikasi berupa gangguan pada sirkulasi,respirasi dan gastrointestinal.
Komplikasi sirkulasi:
Hipotensi terjadi karena vasodilatasi, akibat blok simpatis, makin tinggi blok makin berat hipotensi. Pencegahan hipotensi dilakukan dengan memberikan infuse cairan kristaloid(NaCl,Ringer laktat) secara cepat sebanyak 10-15ml/kgbb dlm 10 menit segera setelah penyuntikan anesthesia spinal. Bila dengan cairan infuscepat tersebut masih terjadi hipotensi harus diobati dengan vasopressor seperti efedrin intravena sebanyak 19mg diulang setiap 3-4menit sampai mencapai tekanan darah yang dikehendaki.
Bradikardia dapat terjadi karena aliran darah balik berkurang atau karena blok simpatis,dapat diatasi dengan sulfas atropine 1/8-1/4 mg IV.
Komlikasi respirasi:
1. Analisa gas darah cukup memuaskan pada blok spinal tinggi,bila fungsi paru-paru normal.
2. Penderita PPOM atau COPD merupakan kontra indikasi untuk blok spinal tinggi.
3. Apnoe dapat disebabkan karena blok spinal yang terlalu tinggi atau karena hipotensi berat dan iskemia medulla.
4. Kesulitan bicara,batuk kering yang persisten,sesak nafas,merupakan tanda-tanda tidak adekuatnya pernafasan yang perlu segera ditangani dengan pernafasan buatan.
Komplikasi gastrointestinal:
Nausea dan muntah karena hipotensi,hipoksia,tonus parasimpatis berlebihan,pemakaian obat narkotik,reflek karena traksi pada traktus gastrointestinal serta komplikasi delayed,pusing kepala pasca pungsi lumbalmerupakan nyeri kepala dengan cirri khasterasa lebih berat pada perubahan posisi dari tidur ke posisi tegak. Mulai terasa pada 24-48jam pasca pungsi lumbal,dengan kekerapan yang bervariasi. Pada orang tua lebih jarang dan pada kehamilan meningkat.
Pencegahan:
1. Pakailah jarum lumbal yang lebih halus
2. Posisi jarum lumbal dengan bevel sejajar serat duramater
3. Hidrasi adekuat,minum/infuse 3L selama 3 hari
Pengobatan:
1. Posisi berbaring terlentang minimal 24 jam
2. Hidrasi adekuat
3. Hindari mengejan
4. Bila cara diatas tidak berhasil berikan epidural blood patch yakni penyuntikan darah pasien sendiri 5-10ml ke dalam ruang epidural.
Retentio urine
Fungsi kandung kencing merupakanbagian yang fungsinya kembali paling akhir pada analgesia spinal,umumnya berlangsung selama 24 jam. Kerusakan saraf pemanen merupakan komplikasi yang sangat jarang terjadi.
Anastetik local untuk analgesia spinal
Berat jenis cairan cerebrospinalis pada 37 derajat celcius adalah 1.003-1.008. anastetik local dengan berat jenis sama dengan css disebut isobaric. Anastetik local dengan berat jenis lebih besar dari css disebut hiperbarik. Anastetik local dengan berat jenis lebih kecil dari css disebut hipobarik.
Anastetik local yang sering digunakan adalah jenis hiperbarik diperoleh dengan mencampur anastetik local dengan dextrose. Untuk jenis hipobarik biasanya digunakan tetrakain diperoleh dengan mencampur dengan air injeksi.
Anestetik local yang paling sering digunakan:
1. Lidokaine(xylobain,lignokain) 2%: berat jenis 1.006, sifat isobaric, dosis 20-100mg
(2-5ml)
2. Lidokaine(xylobain,lignokaine) 5% dalam dextrose 7.5%: berat jenis 1.003, sifat hyperbaric, dose 20-50mg(1-2ml)
3. Bupivakaine(markaine) 0.5% dlm air: berat jenis 1.005, sifat isobaric, dosis 5-20mg
4. Bupivakaine(markaine) 0.5% dlm dextrose 8.25%: berat jenis 1.027, sifat hiperbarik, dosis 5-15mg(1-3ml)
Penyebaran anastetik local tergantung:
1. Factor utama:
a. berat jenis anestetik local(barisitas)
b. posisi pasien
c. Dosis dan volume anestetik local
2. Factor tambahan
a. Ketinggian suntikan
b. Kecepatan suntikan/barbotase
c. Ukuran jarum
d. Keadaan fisik pasien
e. Tekanan intra abdominal
Lama kerja anestetik local tergantung:
1. Jenis anestetia local
2. Besarnya dosis
3. Ada tidaknya vasokonstriktor
4. Besarnya penyebaran anestetik local
Komplikasi tindakan
1. Hipotensi berat
Akibat blok simpatis terjadi venous pooling. Pada dewasa dicegah dengan memberikan infus cairan elektrolit 1000ml atau koloid 500ml sebelum tindakan.
2. Bradikardia
Dapat terjadi tanpa disertai hipotensi atau hipoksia,terjadi akibat blok sampai T-2
3. Hipoventilasi
Akibat paralisis saraf frenikus atau hipoperfusi pusat kendali nafas
4. Trauma pembuluh saraf
5. Trauma saraf
6. Mual-muntah
7. Gangguan pendengaran
8. Blok spinal tinggi atau spinal total
Komplikasi pasca tindakan
1. Nyeri tempat suntikan
2. Nyeri punggung
3. Nyeri kepala karena kebocoran likuor
4. Retensio urine
5. meningitis
Sponsored by Health.com

















o
Epidural & Spinal Anesthesia
o
Spinal Anesthesia
01:27

o
Spinal Anesthesia Subarachnoid Block
o
Epidural & Spinal Anesthesia

o
Continuous Spinal Anesthesia (Csa)

o

Tidak ada komentar: