1
Gejala
Kardinal
1.1
Jenis
Gejala Kardinal
1.1.1
Temperatur
/ Suhu Tubuh
1.1.1.1
Pengertian
Diartikan sebagai suatu derajat panas yang berada
dalam tubuh. Suhu tubuh adalah suatu
indikasi sehat atau sakit yang digambarkan derajat panas yang diproduksi tubuh. Suhu untuk metabolisme sel-sel
ditetapkan 37 0C. Normal individu 36-37 0C. Suhu kulit tidak sama dengan suhu
organ internal.
1.1.2
Temperatur
Pusat
Temperatur tubuh paling dalam,
ditentukan 3 faktor yaitu:
1.1.2.1
Produksi panas sendiri.
1.1.2.2
Isolasi lingkungan.
1.1.2.3
Kecepatan aliran darah.
1.1.3
Produksi
Panas
1.1.3.1
Metabolisme Makanan Dan Aktivitas
Panas dihasilkan
melalui metabolisme makanan. Kecepatan metabolisme à
BMR.
Penambahan
aktivitas seperti latihan akan menambah BMR dan meningkatkan produksi panas.
1.1.3.2
Produksi Tiroksin Meningkat
Dingin à
Hipotalamus à
Thyrotropine à
Kel. Tiroid à
Thiroxine à
Peningkatan Kecepatan metabolisme sel-sel tubuh à Produksi panas
meningkat.
1.1.4
Pelepasan
Panas
1.1.4.1
RADIASI à pemindahan
panas dari suatu permukaan ke permukaan lain tanpa kontak.
1.1.4.2
KONDUKSI à pemindahan
panas temperatur tinggi ke temperatur rendah melalui kontak.
1.1.4.3
KONVEKSI à pergerakan
udara dari dekat tubuh yang panas dipindahkan dengan cara mengganti dengan
udara dingin.
1.1.4.4
EVAPORASI à pelepasan panas
dengan cara penguapan, misal : saluran pernafasan, keringat, air ketuban.
1.1.5
Keseimbangan
Produksi Panas dan Panas Yang Dilepas
Organ utama
pengatur suhu: HYPOTHALAMUS.
1.1.5.1
HYPOTHALAMUS ANTERIOR
Badan
hangat/demam à
Hypothalamus anterior à Dilatasi kapiler permukaan tubuh à
Darah banyak menuju kapiler permukaan tubuh à Banyak keluar
keringat.
1.1.5.2
HYPOTHALAMUS POSTERIOR
Badan dingin à
Darah dingin à
Hypothalamus posterior à Vasokonstriksi kapiler permukaan tubuh à
Darah sedikit menuju permukaan tubuh à Tidak ada
sekresi keringat.
1.1.6
Faktor
yang Mempengaruhi Temperatur
1.1.6.1
UMUR: Suhu berubah menurut umur.
1.1.6.2
PERUBAHAN WAKTU SEHARI: Suhu berubah 2-30C
à
Tinggi jam 20.00-23.00, Rendah jam 04.00-06.00 WIB.
1.1.6.3
SEKS: Ovulasi à
suhu meningkat 0,3 – 0,5 0C à
Peningkatan BMR.
1.1.6.4
EMOSI: Emosi meningkat à
suhu meningkat à begitu sebaliknya.
1.1.6.5
LATIHAN AKTIVITAS: Aktivitas muskuler à
suhu akan meningkat.
1.1.6.6
LINGKUNGAN.
1.1.7
Mengukur
Suhu Tubuh
Ada 3 metode yaitu : per oral, per
rektal dan aksila.
Suhu rektal 0,4 0C lebih
tinggi dari oral.
Suhu aksila 0,6 0C
dibawah suhu oral.
NORMAL per oral 36,4 - 37,2 0C,
rata-rata 37 0C.
NORMAL per rektum 37 – 37,8 0C,
rata-rata 37,5 0C.
NORMAL per aksila 35,8 - 37 0C,
rata-rata 36,7 0C.
1.1.8
Pengkajian
Fisik Tanda Demam
1.1.8.1
Permulaan
Tanda Serangan
1. Adanya
keluhan dingin.
2. Menggigil
atau kontraksi otot-otot.
3. Peningkatan
cardiac rate direfleksikan peningkatan nadi.
4. Kulit
dingin pucat akibat vasokonstriksi perifer.
5. Kontraksi
arektor villi ditunjukkan bulu roma berdiri.
6. Berkurangnya
keringat.
7. Pada
anak-anak : suhu sangat tingggi à kejang.
1.1.8.2
Tanda
Selama Demam
1. Lemah
dan sakit dari bagian tubuh.
2. Sakit
kepala, lekas marah, bingung, gelisah akibat iritasi SSP.
3. Anoreksia,
mual dan muntah.
4. Klien
mengeluh panas & dingin.
5. Kulit
terasa panas bila disentuh.
6. Vasodilatasi perifer, muka merah.
7. Dehidrasi
membran mukosa.
8. Demam
lama à
kehilangan BB.
1.1.8.3
Tanda
Terminasi
1. Diaphoresis.
2. Suhu
turun.
3. Possible
dehidrasi.
1.1.8.4
Intervensi
1.
Menggigil
à
Berikan selimut.
2.
Diaphoresis à
Tingkatkan sirkulasi ruangan.
3.
Cegah dehidrasi à
Tingkatkan asupan cairan.
4.
Catat intake & output.
5.
Monitor TTV.
1.2
Denyut Nadi
1.2.1
Pengertian
Denyut nadi adalah ketukan / dorongan ringan yang dapat diraba atau dirasakan
pada arteri akibat mengembangnya aorta.
Mengembangnya aorta menghasilkan gelombang di dinding sistem aorta jika
diraba, dirasakan sebagai dorongan atau ketukan ringan disebut denyut.
Setiap kali bilik kiri jantung menegang untuk menyemprotkan darah ke
aorta yang sudah penuh dinding arteri dalam sistem peredaran darah mengembang
atau mengembung.
Pusat pengatur denyut adalah NODUS SINOATRIAL atau NODUS SINOAURICULER
yang letaknya pada serambi kanan jantung.
1.2.2
Kecepatan Denyut Nadi Normal
1.2.3
Perubahan
Kecepatan Denyut Nadi
1.2.3.1
Adanya rangsangan pada saraf simpatik
dan parasimpatik.
1.2.3.2
Sitem emosi : takut, marah, kaget dan
cemas.
1.2.3.3
Latihan fisik dan olah raga.
1.2.3.4
Kulit terlalu lama kena panas.
1.2.3.5
Suhu naik 0,6 0C atau 1 0F, denyut
meningkat 7-10 x/menit.
1.2.3.6
Denyut > 100 x/menit disebut
TACHIYCARDIA.
1.2.3.7
Denyut < 60 x/menit disebut BRADYCARDIA.
1.2.4
Irama
Denyut
1.2.4.1
Irama denyut normal
adalah selang waktu antara denyut yang satu dengan berikutnya sama.
1.2.4.2
Arrhytmia
adalah irama denyut tak teratur.
1.2.4.3
Pulsus Intermittens, adalah
denyut yang mengalami periode irama normal kemudian tak teratur.
1.2.4.4
Dicrotic Pulse (Denyut nadi
kembar), gelombang denyut terasa 2 denyut waktu diraba.
1.2.4.5
Bigeminal Pulse adalah
dua kontraksi teratur disusul berhenti.
1.2.4.6
Denyut Prematur, kontraksi
jantung yang terjadi sebelum adanya denyut normal, dimanifestasikan
berdebar-debar.
1.2.5
Volume
Denyut
Adalah darah
yang terasa mengalir melalui pembuluh darah. Denyut mudah dihilangkan dengan
tekanan diatas arteri.
Bounding
atau denyut terbatas adalah bila volume darah sulit menghilangkan
denyut.
Denyut mudah
hilang disebut denyut lemah atau feeble atau pulsus filiformis.
1.2.6
Lokasi untuk Mengukur Denyut
Arteri temporalis, Arteri karotis, Arteri apikal, Arteri brachialis, Arteri
radialis, Arteri ulnaris, Arteri femoralis, Arteri poplitea, Arteri posterior
tibial,Arteri dorsalis pedis.
1.2.7
Apikal Rate
Apical
Rate à kecepatan denyut yang dihitung pada apex jantung
dan nadi radial secara serempak. Hal ini dilakukan oleh 2 orang, seorang
mendengarkan denyut apex, yang lain mengukur denyut radial. Hitungan apical dan
radial dicatat, denyut ini dilakukan bila denyut radial lemah atau tidak teraba.
1.3
Pernafasan
Pusat pernafasan berada di Medula
Oblongata.
1.3.1
Fisiologi
Pernafasan
Pernafasan paru atau pernafasan
eksternal ada 4 proses yaitu:
1.3.1.1
Ventilasi pulmoner, gerakan nafas untuk
menukar udara dalam alveoli dengan udara luar.
1.3.1.2
Arus darah melalui paru-paru, CO2 dan
darah ke paru-paru.
1.3.1.3
Difusi gas menembus membran alveoli dan
kapiler, CO2 lebih mudah berdifusi dengan O2.
1.3.1.4
Distribusi arus udara dan arus darah à
mencapai semua bagian tubuh.
1.3.2
Kecepatan
Bernafas
NORMAL à
kecepatan bernafas 16-20 x/menit.
1.4
Tekanan Darah
1.4.1
Faktor
yang Mempengaruhi Tekanan Darah
1.4.1.1
TAHANAN
PERIFER: Arteri mempunyai sistem tekanan tinggi, vena dan kapiler mempunyai
sistem tekanan rendah. Arteriola menguncup kecil darah yang mengalir berkurang.
1.4.1.2
GERAKAN MEMOMPA DARAH JANTUNG: Semakin
banyak darah di pompa ke arteri (isi sekuncup bertambah) lebih menggelembung à
TD meningkat. Sedikit darah di pompa isi sekuncup berkurang à
TD turun.
1.4.1.3
VOLUME DARAH: Volume darah rendah akibat
perdarahan à
TD turun.
1.4.1.4
VIKOSITAS DARAH: Semakin kental darah à
semakin tinggi TD, karena semakin banyak tenaga untuk mendorong
1.4.1.5
ELASTISITAS DINDING PEMBULUH DARAH:
Arteri mengandung sejumlah besar jaringan elastis yang lentur. Jantung
istirahat à
dinding arteri mengerut. Pembuluh yang elastisitasnya sedikit memberikan banyak
penolakan di banding dengan pe,buluh yang elastisitasnya besar. Contoh : pada
arteriosklerosis TD bertambah.
1.4.2
Tekanan
Darah Normal
1.4.3
Mengukur
Tekanan Darah
Alat untuk
mengukur TD adalah : Sfimomanometer, Manometer Aneroid dan Stateskop.
Suara yang didengarkan
oleh perawat waktu mengukur TD disebut suara KOROTKOFF, dimana ada 5 yaitu :
1.4.3.1
Suara KOROTKOFF I, adalah bunyi pertama
terdengar dicatat sebagai tekanan sistolik, sifatnya lemah, nada tinggi
terdengar : tek, tek ...
1.4.3.2
Suara KOROTKOFF II, adalah bunyi seperti
K I disertai bising; teksst, teksst ...atau tekrrd, tekrrd.
1.4.3.3
Suara KOROTKOFF III, adalah bunyi
berubah keras, nada rendah, bising; deg, deg ...
1.4.3.4
Suara KOROTKOFF IV, adalah saat pertama
kali bunyi jelas melemah; de:g, de:g ..., deg, deg...
1.4.3.5
Suara KOROTKOFF V, dicatat sebagai
tekanan diatolik adalah saat bunyi hilang.
Catatan :
Nilai
sistolik diambil dari suara KOROTKOFF I.
Nilai
diastolik diambil dari suara KOROTKOFF V.
KECUALI
Pada
anak kecil
Pada
keadaan suara K V terus terdengar walaupun permukaan air raksa sudah
sampai angka 0 (Nol), pada keadaan
diatas digunakan K IV untuk pencatatan nilai diastolik.
2
Guna
Gejala Kardinal
2.1 Menggambarkan fungsi
tubuh secara umum dengan tepat.
2.2 Mengetahui kelainan fungsi tubuh yang tak
dapat diamati.
3
Variasi Gejala Kardinal
Tergantung pada :
3.1 Umur.
3.2 Jumlah kegiatan.
3.3 Perubahan waktu sehari.
3.4 Status emosi.
3.5 Makanan.
3.6 Seks.
4
Tekhnik
Pengambilan
4.1 Inspeksi
à
Melihat.
4.2 Palpasi à Memegang.
4.3 Auskultasi à Mendengar.
2 Kesadaran
Kesadaran
merupakan keadaan yang mencerminkan pengintegrasian impuls aferen dan eferen. Gangguankesadaran, yaitu keadaan dimana tidak terdapat
aksi dan reaksi, walaupun diransang secara kasar.
1.1 Tingkat
kesadaran :
1.1.1
Kompos
mentis : sadar
sepenuhnya baik terhadap dirinya maupun lingkungan. Pada kompos mentis ini aksi
dan reaksi bersifat adekuat yang tepat dan sesuai.
1.1.2
Apatis : keadaan pasien yang tampak segan dan acuh tak acuh
terhadap lingkungan.
1.1.3
Delirium
: penurunan
kesadaran disertai kekacauan motorik dan siklus tidur bangun yang terganggu.
Pasien tampak gelisah, kacau, disorientasi dan meronta-meronta.
1.1.4
Somnolen
(letargi, obtundasi, hipersomnia) : mengantuk yang masih dapat dipulihkan bila diberi ransangan tapi saat
ransangan dihentikan, pasien tertidur lagi. Pada somnolen jumlah jam tidur
meningkat dan reaksi psikologis lambat.Soporous/stupor : keadaan
mengantuk yang dalam.
1.1.5
Pasien
masih dapat dibangunkan dengan ransangan kuat tetapi pasien tidak terbangun
sempurna dan tidak dapat memberijawaban verbal yang baik. Pada soporous/stupor
reflek kornea dan pupil baik, BAB dan BAK tidak terkontrol. Stupor disebabkan
oleh disfungsi serebral organic difus.
1.1.6
Semi
koma : penurunan
kesadaran yang tidak member respon terhadap ransangan verbal dan tidak dapat
dibangunkan sama sekali, tapi reflek kornea dan pupil masih baik.
1.1.7
Koma : penurunan kesadaran yang sangat dalam, tidak ada
gerakan spontan dan tidak ada respon terhadap nyeri.Derajat kesadaran yang
paling rendah yaitu koma. Koma terbagi dalam :
1.1.8
Koma
supratentorial diensephalik : merupakan semua proses supratentorial yang
mengakibatkan destruksi dan kompresi pada substansia retikularis diensefalon
yang menimbulkan koma. Koma supratentorial diensephalik dapat dibagi dalam 3
golongan, yaitu :
1.1.8.1 Proses desak ruang yang meninggikan tekanan dalam
ruang intracranial supratentorial secara akut.
1.1.8.2 Lesi yang menimbulkan sindrom ulkus.
1.1.8.3 Lesi supratentorial yang menimbulkan sindrom kompresi
rostrokaudal terhadap batang otak.
1.1.9
Koma
infratentorial diensefalik, disini terdapat 2 macam proses patologik yang
menimbulkan koma :
1.1.9.1
Proses
patologik dalam batang otak yang merusak substansia
retikularis.Proses diluar
batang otak yang mendesak dan mengganggu fungsi substansia retikularis.
1.1.9.2
Koma
infratentorial akan cepat timbul jika substansia retikularis mesensefalon
mengalami gangguan sehingga tidak bisa berfungsi baik. Hal ini terjadi akibat
perdarahan. Dimana perdarahan di batang otak sering merusak tegmentum pontis
dari pada mesensefalon.
1.1.10 Koma
bihemisferik difus : terjadi karena metabolism neural kedua belah hemsferium
terganggu secara difus. Gejala yang ditimbulkannya yaitu dapat berupa
hemiparesis, hemihiperestesia, kejang epileptic, afasia, disatria, dan ataksia,
serta gangguan kualitas kesadaran.
Derajat kesadaran lainnya yaitu tidur. Tidur merupakan
suatu derajat kesadaran yang berada dibawah keadaan awas-waspada dan merupakan
fisiologik yang ditentukan oleh aktivitas bagian-bagian tertentu dari
substansia retikularis. Tidur secara patologis yaitu keadaan tidur dan berbagai
mecam keadaan yang menunjukkan daya bereaksi dibawah derajat awas-waspada,
diantaranya letargi, mutismus akinetik, stupor, dan koma.
1.2
Gangguan tidur terdiri atas hipersomnia dan insomnia :
1.2.1
Hipersomnia
(kebanyakan tidur) merupakan gejala keadaan patologik yang dibedakan dalam :
1.2.1.1 Hipersomnia karena proses patologik diotak, seperti
ensefalitis dan tumor serebri.
1.2.1.2 Hipersomnia karena proses patologik sistemik, seperti
hiperglikemia atau uremia.
1.2.2 Insomnia (tidak bisa tidur) merupakan gejala sekunder
beberapa jenis psikoneurosis yang dapat timbul sebagai :
1.2.2.1
Insomnia
primer, yaitu penderita tidur tapi tidak merasa tidur.
1.2.2.2
Insomnia
sekunder akibat psikoneurosis yang umumnya punya banyak keluhan non organic,
sakit kepala, perut kembung, badan pegal, dll.
1.2.2.3
Insomnia
sekunder akibat penyakit organic, yaitu penderita tidak bisa tidur karena saat
tertidur, ia diganggu oleh penderitaan organic. Misalnya seperti penderita
diabetes mellitus yang sering terbangun karena sering kencing, atau penderita
ulkus duodeni yang sering terbangun karena mules dan lapar pada tengah malam,
atau penderita arthritis reumatika yang mudah terbangun oleh nyeri yang timbul
pada setiap perubahan sikap badan.
1.3
Gangguan
tidur fungsional, yaitu diantaranya :
1.3.1 Somnambulisme, yaitu berjalan dalam keadaan tidur.
1.3.2 Sleep automatism, yaitu berjalan sambil melakukan
suatu perbuatan yang bertujuan dalam keadaan tidur. Misalnya membereskan koper
seperti orang yang ingin bepergian tapi dalam keadaan tidur.
1.3.3 Kekau, yaitu berbicara dalam keadaan tidur yang
biasanya terkait dengan mimpi.
1.3.4 Kejang nokturnus atau mioklonus nokturnus, yaitu saat
tidur, ia terbangun kembali karena anggota geraknya berkejang sejenak.
1.3.5 Paralisis nokturnus, yaitu perasaan lumpuh seluruh
tubuh yang dialami sebagai kenyataan dan menghilang serentak saat mata dapat
dibuka.
1.4
Etiologi,
pathogenesis, gambaran klinis, dan terapi trauma susunan saraf pusat
“Trauma merupakan penyebab utama kematian pada populasi dibawah umur 45
tahun dan merupakan penyebab kematian no. 4 pada seluruh populasi. Lebih dari
50% kematian disebabkan oleh cidera kepala. Kecelakaan kendaraan bermotor
menrupakan penyebab cedera kepala pada lebih dari 2 juta orang setiap tahunnya,
75.000 orang meninggal dunia dan lebih dari 100.000 orang yang selamat akan
mengalami disabilitas permanent”. Trauma capitis adalah gangguan traumatic yang
menyebabkan gangguan fungsi otak disertai atau tanpa disertai perdarahan in
testina dan tidak mengganggu jaringan otak tanpa disertai pendarahan in testina
dan tidak mengganggu jaringan otak.
1.4.1
Tipe-Tipe Trauma :
1.4.1.1
Trauma
Kepala Terbuka: Faktur linear daerah temporal menyebabkan pendarahan epidural,
Faktur Fosa anterior dan hidung dan hematom faktur lonsitudinal. Menyebabkan kerusakan
meatus auditorius internal dan eustachius.
1.4.1.2
Trauma
Kepala Tertutup:
1. Comosio Cerebri, yaitu trauma Kapitis ringan, pingsan + 10 menit, pusing
dapat menyebabkan kerusakan struktur otak.
2. Contusio / memar, yaitu pendarahan kecil di jaringan otak akibat pecahnya
pembuluh darah kapiler dapat menyebabkan edema otak dan peningkatan TIK.
3. Pendarahan Intrakranial, dapat menyebabkan penurunan kesadaran, Hematoma
yang berkembang dalam kubah tengkorak akibat dari cedera otak. Hematoma disebut
sebagai epidural, Subdural, atau Intra serebral tergantung pada lokasinya.
1.4.2
Ada berbagai klasifikasi yang di pakai dalam penentuan derajat kepala.
1.4.2.1
Cidera kepala
ringan/minor (kelompok resiko rendah).
1. Skor skala koma Glasglow 15 (sadar penuh,atentif,dan orientatif).
2. Tidak ada kehilangan kesadaran(misalnya konkusi).
3. Tidak ada intoksikasi alkohaolatau obat terlarang.
4. Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing.
5. Pasien dapat menderita abrasi,laserasi,atau hematoma kulit kepala.
6. Tidak adanya kriteria cedera sedang-berat.
1.4.2.2
Cidera kepala
sedang (kelompok resiko sedang).
1. Skor skala koma glasgow 9-14 (konfusi, letargi atau stupor).
2. Konkusi.
3. Amnesia pasca trauma.
4. Muntah.
5. Tanda kemungkinan fraktur kranium (tanda battle,mata
rabun,hemotimpanum,otorhea atau rinorhea cairan serebrospinal).
1.4.2.3
Cidera kepala
berat (kelompok resiko berat).
1. Skor skala koma glasglow 3-8 (koma).
2. Penurunan derajat kesadaran secara progresif.
3. Tanda neurologis fokal.
4. Cidera kepala penetrasi atau teraba fraktur depresikranium.
1.4.3
Jenis-jenis cidera kepala
1.4.3.1
Cidera kulit kepala. Cidera pada bagian ini banyak mengandung pembuluh darah, kulit kepala
berdarah bila cidera dalam. Luka kulit kepala maupun tempat masuknya infeksi
intrakranial. Trauma dapat menyebabkan abrasi, kontusio, laserasi atau avulsi.
1.4.3.2
Fraktur
tengkorak. Fraktur tengkorak adalah
rusaknya kontinuitas tulang tengkorak di sebabkan oleh trauma. Adanya fraktur
tengkorak biasanya dapat menimbulkan dampak tekanan yang kuat. Fraktur
tengkorak diklasifikasikan terbuka dan tertutup. Bila fraktur terbuka maka dura
rusak dan fraktur tertutup keadaan dura tidak rusak.
1.4.3.3
Cidera Otak serius dapat tejadi dengan atau
tanpa fraktur tengkorak, setelah pukulan atau cidera pada kepala yang
menimbulkan kontusio, laserasi dan hemoragi otak. Kerusakan tidak dapat pulih
dan sel-sel mati dapat diakibatkan karena darah yang mengalir berhenti hanya
beberapa menit saja dan kerusakan neuron tidak dapat mengalami regenerasi.
1.4.3.4
Komosio umumnya meliputi sebuah periode
tidak sadarkan diri dalam waktu yang berakhir selama beberapa detik sampai
beberapa menit. Komosio dipertimbangkan sebagai cidera kepala minor dan
dianggap tanpa sekuele yang berarti. Pada pasien dengan komosio sering ada
gangguan dan kadang efek residu dengan mencakup kurang perhatian, kesulitan
memori dan gangguan dalam kebiasaan kerja.
1.4.3.5
Kontusio serebral merupakan didera kepala berat, dimana
otak mengalami memar, dengan kemungkinan adanya daerah haemoragi. Pasien tidak
sadarkan dari, pasien terbaring dan kehilangan gerakkan, denyut nadi lemah,
pernafsan dangkal, kulit dingin dan pucat, sering defekasi dan berkemih tanpa
di sadari.
1.4.3.6
Haemoragi intrakranial. Hematoma
(pengumpulan darah) yang terjadi di dalam kubah kranial adalah akibat paling
serius dari cidera kepala, efek utama adalah seringkali lambat sampai hematoma
tersebut cukup besar untuk menyebabkan distorsi dan herniasi otak serta
peningkatan TIK.
1.4.3.7
Hematoma epidural (hamatoma ekstradural atau haemoragi). Setelah cidera
kepala, darah berkumpul di dalam ruang epidural (ekstradural) diantara
tengkorak dan dura. Keadaan ini karena fraktur tulang tengkorak yang
menyebabkan arteri meningeal tengah putus /rusak (laserasi), dimana arteri ini
berada di dura dan tengkorak daerah inferior menuju bagian tipis tulang
temporal; haemoragi karena arteri ini menyebabkan penekanan pada otak.
1.4.3.8
Hematoma sub dural adalah
pengumpulan darah diantara dura dan dasar, suatu ruang yang pada keadaan normal
diisi oleh cairan. Hematoma sub dural dapat terjadi akut, sub akut atau kronik.
Tergantung ukuran pembuluh darah yang terkena dan jumlah perdarahan yang ada.
Hematoma sub dural akut d hubungkan dengan cidera kepala mayor yang meliputi
kontusio dan laserasi. Sedangkan Hematoma sub dural sub akut adalah sekuele
kontusio sedikit berat dan di curigai pada pasien gangguan gagal meningkatkan
kesadaran setelah trauma kepala. Dan Hematoma sub dural kronik dapat terjadi
karena cidera kepala minor dan terjadi paling sering pada lansia.
1.4.3.9
Haemoragi intraserebral dan hematoma. Hemoragi
intraserebral adalah perdaraan ke dalam substansi otak. Haemoragi ini biasanya
terjadi pada cidera kepala dimana tekanan mendesak ke kepala sampai daerah
kecil (cidera peluru atau luka tembak; cidera kumpil).
1.5
Tanda dan
Gejala
Tanda dan gejala cedera kepala dapat dikelompokkan dalam 3 kategori utama :
1.5.1 Tanda dan gejala fisik/somatik: nyeri kepala, dizziness, nausea, vomitus.
1.5.2 Tanda dan gejala kognitif: gangguan memori, gangguan perhatian dan berfikir
kompleks.
1.5.3 Tanda dan gejala emosional/kepribadian: kecemasan, iritabilitas.
1.6
Pemeriksaan
Dianostik:
1.6.1 CT –Scan : mengidentifikasi adanya sol, hemoragi menentukan ukuran
ventrikel pergeseran cairan otak. MRI : sama dengan CT –Scan dengan atau tanpa kontraks.
1.6.2 Angiografi Serebral : menunjukkan kelainan sirkulasi serebral seperti
pergeseran jaringan otak akibat edema, perdarahan dan trauma.
1.6.3 EEG : memperlihatkan keberadaan/ perkembangan gelombang.
1.6.4 Sinar X : mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (faktur pergeseran
struktur dan garis tengah (karena perdarahan edema dan adanya frakmen tulang).
1.6.5 BAER (Brain Eauditory Evoked) : menentukan fungsi dari kortek dan batang
otak.
1.6.6 PET (Pesikon Emission Tomografi) : menunjukkan aktivitas metabolisme pada
otak.
1.6.7 Pungsi Lumbal CSS : dapat menduga adanya perdarahan subaractinoid.
1.6.8 Kimia/elektrolit darah : mengetahui ketidakseimbangan yang berpengaruh
dalam peningkatan TIK.
1.6.9 GDA (Gas Darah Arteri) : mengetahui adanya masalah ventilasi atau
oksigenasi yang akan dapat meningkatkan TIK.
1.6.10 Pemeriksaan toksitologi : mendeteksi obat yang mungkin bertanggung jawab
terhadap penurunan kesadaran.
1.6.11 Kadar antikonvulsan darah : dapat dilakukan untuk mengetahui tingkat terapi
yang cukup efektif untuk mengatasi kejang.
1.7
Penatalaksanaan
Medik
Penatalaksanaan medik cedera kepala yang utama adalah mencegah terjadinya
cedera otak sekunder. Cedera otak sekunder disebabkan oleh faktor sistemik
seperti hipotesis atau hipoksia atau oleh karena kompresi jaringan otak.
Pengatasan nyeri yang adekuat juga direkomendasikan pada pendertia cedera
kepala.
Penatalaksanaan umum adalah sebagai berikut :
1.7.1
Nilai fungsi
saluran nafas dan respirasi.
1.7.2
Stabilisasi
vertebrata servikalis pada semua kasus trauma.
1.7.3
Berikan
oksigenasi..
1.7.4
Awasi tekanan
darah.
1.7.5
Kenali
tanda-tanda shock akibat hipovelemik atau neuregenik.
1.7.6
Atasi shock.
1.7.7
Awasi
kemungkinan munculnya kejang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar